Sunday, April 26, 2015

Belajar Bijak

Menjadi figur apapun di dalam hidup ini tidak akan selalu mudah. Anak mengira lebih enak menjadi seorang Ayah, bisa tinggal perintah, tinggal suruh ini itu. Padahal tanggung jawab seorang Ayah sangat besar di dalam keluarga. Begitu pun seorang Ibu; mungkin terkadang mungkin ada kalanya ingin kembali seperti anak kecil yang hanya perlu merengek apabila ingin meminta sesuatu.

Semakin usia bertambah, semakin pula ada kewajiban untuk menjadi lebih bijaksana. Siapa yang tidak ingin disebut Ayah bijak, Ibu bijak, Anak bijak? Seseorang yang bijaksana tidak hanya baik, namun dapat mengambil keputusan yang benar dengan cara yang tepat.

Sekarang ini tidak kurang tips-tips psikologi di internet, seminar, sharing tentang menjadi orang atau orangtua bijak. Dari sekian yang kita sudah dengar, baca, ketahui, namun satu yang paling sulit dilakukan yaitu menerapkannya dalam hidup sehari-hari! Bersikap bijak itu harus dilatih, tidak bisa otomatis. Bijak itu soal belajar, bukan talenta.
Menjadi bijak bagi sebagian orang mungkin mudah, namun tidak bagi beberapa orang.

Beberapa waktu lalu saya dihadapkan dengan kondisi dimana saya harus bersikap bijak. Saat ini saya memiliki putra berusia 1 tahun 9 bulan, belum lepas ASI. Saya masih menyusui meskipun produksi ASI saya sudah sangat menipis, dan saya masih berusaha untuk memompa berapa pun hasilnya. Saat itu sudah malam, dan saya menghangatkan ASIP untuk anak saya sebelum tidur. Namun anak saya menolah ASIP tersebut dan merengek bahkan menangis sedih karena mengharapkan menyusui langsung.

Jujur saya sedih membayangkan harus membuang ASI 120 ml itu. Dilema. Membiarkan anak saya menangis dan tidak menyusuinya, memaksanya minum ASIP meskipun menjerit, atau dengan lapang dada merelakan ASIP terbuang dan memilih menyusui langsung?

Apa yang akan Anda pilih apabila ada di posisi saya? Haruskah saya mempertahankan ego, waktu yang dicurahkan untuk memompa, tenaga yang diupayakan agar menghasilkan ASIP? Atau mengalah demi buah hati yang merindukan pelukan sang Ibu sambil menyusui? Haruskan saya melampiaskan kekecewaan kepada sang buah hati yang tidak akan dapat mengerti susah payah perjuangan Ibunya untuk menyediakan ASIP baginya?

Saya memilih ASIP terbuang dan melihat anak saya nyaman dan tertidur lelap di pelukan saya sambil menyusui. Dan saya menikmati waktu-waktu dimana anak saya membutuhkan pelukan erat seorang Ibu. Sebentar lagi usianya 2 tahun, dan tidak akan menyusu lagi, saya tidak mau melewatkan momen menyusui yang hanya tinggal sebentar lagi.

Anak bukanlah seorang dewasa yang terbungkus di dalam tubuh seorang anak kecil. Baiklah yang lebih dewasa menempatkan diri di kaki seroang anak, dan bukan berharap sebaliknya.

Sudahkah Anda bersikap bijak hari ini, kepada suami, istri, orang tua, anak, kakak dan sahabat? Jika belum, maka mulailah.

.cis.

No comments

Post a Comment

© Stories from An Affogato Lover
Maira Gall