Banjir lagi...banjir lagi...
Selalu cari siapa yang salah atau yang patut disalahkan atas fenomena 5-tahunan ini (sekarang sih udah ga 5 tahun, dari 2002 ke 2007 memang 5 tahun, lalu tahun ini 2013 berarti 6 tahun. Jadi sebutan banjir 5 tahunan sudah selayaknya dicopot dari istilah banjir hebat di Jakarta!). Orang Indonesia memang cepat kalo mengarang istilah yang negatif hehehe..piss ah! ;)
Balik lagi ke topik banjir. Di stasiun-stasiun televisi pasti reporter nanya kepada korban banjir: Apa harapan anda kepada pemerintah terhadap peristiwa ini? Begitulah stasiun swasta yang konon mengklaim diri sebagai stasiun televisi terpercaya, akurat, tepat, bla bla bla..tetapi dalam sehari-harinya kebanyakan kurang mendidik masyarakat atau penonton. Alih-alih malah memperkeruh suasana. Akhirnya warga Jakarta tidak pernah MERASA BERSALAH atas banjir yang menimpa ibukota tercinta ini. *big sigh*
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem drainase Jakarta atau Indonesia belum sempurna, pembangunan tata kota juga belum maksimal, pembangunan gedung-gedung baru juga tidak selalu memperhatikan resapan air. Namun, sampah di ibukota juga selalu menjadi salah satu penyebab banjirnya Jakarta. Buktinya, pasca banjir sampah berserakan di mana-mana, termasuk di sungai. Kesadaran masyarakat akan membuang sampah pada tempatnya belum tumbuh merata di seluruh anggota masyarakat. Mengurangi sampah sebagai upaya pengurangan volume sampah sehari-hari juga belum menjadi budaya hidup masyarakat. Warga tidak jarang membuang sampah di angkutan umum, jalan, got, sungai dan tempat lain yang bukan tempat sampah dengan harapan ada orang lain yang akan membersihkan, dan tanpa memikirkan risiko banjir karena dilakukan pada saat musim kemarau.
Contoh kecil juga terjadi di kehidupan sehari-hari antara lain: para ibu belanja ke pasar tradisional setiap hari tidak membawa kantong dari rumah, akibatnya sampah plastik menumpuk. Belanja ke mini market hanya satu sabun mandi dan satu pasta gigi saja minta diplastikin. Sudah saatnya kita bilang kepada penjual apabila barang belanjaan kita tidak banyak: "tidak usah diplastikin mba." Bayangkan kalau 1/4 warga ibukota melakukan hal ini, berapa banyak sampah plastik dapat tercegah, dan berapa banyak penghematan yang dapat dilakukan.
Sebenarnya masih banyak contoh lain yang dapat membantu mengurangi volume sampah di sekitar kita, misalnya sampah organik rumah tangga, dapat dijadikan pupuk tanaman. Di kantor, dapat menggunakan kertas sisi yang kosong untuk mencetak dokumen yang sifatnya tidak confidential atau hanya untuk dokumentasi kerja sendiri. Banyak upaya kecil yang apabila dilakukan serentak oleh seluruh warga ibukota dapat memberi dampak signifikan.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengharapkan hanya pihak tertentu untuk membenahi Jakarta. Terkadang warga hanya menuntut tanpa bercermin. Ingin dilayani cepat tapi tak mau mengantri. Ingin Jakarta tidak banjir tetapi masih buang sampah sembarangan. Baiknya kita melakukan apa yang jadi bagian kita, dan pemerintah melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, seperti: memperbaiki sistem drainase, memaksimalkan tempat pembuangan sampah akhir beserta upaya daur ulangnya, memantau pembangunan gedung-gedung bertingkat dan jalan layang tol/non-tol agar memperhatikan daerah resapan secara memadai, memperbanyak lahan hijau dan menghimbau masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Semoga warga, pemerintah, dan pengusaha dapat bergandengan tangan untuk membangun ibukota Jakarta yang lebih baik.
Selamat membangun Jakarta!
#PrayforJakarta
.cis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
setuju mbak Sisca.. kalau mau bener, pemerintah dan warga harus berjalan beriringan.. karena biar bagaimanapun warga juga menyumbang penyebab bagi banjir
ReplyDeleteIya mas Ali, makanya waktu itu saya setuju sama tulisannya yang ada unsur 'menegur' warga Jakarta dgn kebiasaan buruknya dengan sampah. Mudah2an warga ibukota semakin menyadari pentingnya hal ini agar banjir ga terulang lagi ya ;)
ReplyDelete