Thursday, January 26, 2017

Review Film: xXx: Return of Xander Cage

xXx: Return of Xander Cage

Kalo kamu fans berat Vin Diesel dan Fast & Furious, bisa mengira-ngira dong kira-kira kayak gimana aksi aktor berkepala plontos ini dalam film-film action lainnya?

Yap, ga beda jauh aksi dia di film action Fast & Furious dengan di film xXx: Return of Xander Cage ini. Bedanya, yang satu pakai mobil berteknologi balap, kalau ini dengan tangan kosong, aka, action biasa.

Di awal-awal, aksi laga Xiang (Donnie Yen), Serena (Deepika Padukone) and the gank sih menghibur banget, kecepatan tangan, mata, gerak dalam mencuri kotak Pandora, patut diacungi jempol. Apalagi saat Talon (Tony Jaa) beraksi merebut motor lawan dengan cara yang nggak biasa.

Setelah aksi itu, saya masih terhibur dengan gaya nyeleneh Xander (Vin Diesel) yang mencuri semacam dekoder dari gardu listrik, kabur pake ski melintasi hutan, naik skateboard, demi memasang dekoder itu di suatu tempat agar televisi-televisi di wilayah tersebut bisa menikmati siaran langsung sepakbola.

Namun lepas dari aksi-aksi itu, jalan cerita selanjutnya udah bisa ditebak sendiri. Merekrut tim sendiri, kerja pake gaya sendiri, pengkhianatan pihak pemerintah, dan seterusnya. Secara keseluruhan film ini sih Vin Diesel banget. Ngga ada hal baru yang bikin wow.

Kita tunggu saja aksi aktor botak ini di film berikutnya: Fast & Furious 8, semoga lebih menghibur.

Personal score: 6/10

Thursday, January 19, 2017

Review Produk: Bio-Oil, Babay Bekas Jerawat!

Bio-Oil, efektif menghilangkan bekas luka
Halo ladies, kali ini saya mau review produk kesehatan dan kecantikan kulit, Bio-Oil. Saya sudah pakai produk ini selama kurang lebih tiga bulan. Waktu itu sebenarnya ga berminat beli Bio-Oil, tapi waktu mau bayar produk lain di kasir, si Mba petugas kasir menawarkan produk ini ke saya, yang saat itu diskon 20%. Bukan hanya diskonnya sih yang bikin saya akhirnya beli. Tapi juga karena penjelasan dari si Mba tentang produk ini.

Saya dijelasin kalo Bio-Oil ini efektif mengurangi bekas luka termasuk bekas luka jerawat. Langsung sinyal saya kuat nerima informasi si Mba, alias tergiur, berhubung saya punya noda bandel bekas jerawat yg lumayan bikin lelah kalo diurus, hiks :(... makanya dari pada ribet, jadi saya cuekin deh hahaha. 

Setelah saya coba, ternyata jika diaplikasikan secara rutin dua kali sehari sehabis membersihkan wajah selama satu bulan, hasil membuktikan bekas jerawat hilang sekitar 50%. Selama dua bulan pemakaian, bekas jerawat semakin menipis 75%. Bulan ketiga bekas jerawat hilang sekitar 90%. Pemakaiannya harus rutin untuk memperoleh hasil maksimal. Namun kondisi kulit setiap orang berbeda, jadi hasilnya juga bisa aja beda.

Bio-Oil bisa digunakan untuk luka lama maupun baru. Saya juga sudah coba oleskan di bekas jerawat yang agak timbul, terbukti hasilnya bekas luka menipis dan mengecil (kempes) sehingga rata lagi seperti kulit sekitarnya.

Selain untuk menghilangkan bekas luka, Bio-Oil juga bisa digunakan untuk menyamarkan stretch mark, melembabkan kulit yang dehidrasi, meratakan warna kulit, dan sebagai anti penuaan dini. Bahkan kakak saya menggunakannya untuk pelembab kulit sebagai pengganti body lotion. Perlu diingat, Bio-Oil ngga bisa digunakan di wilayah kulit yang sedang luka.

Produk yang kandungan utamanya PurCellion Oil ini ngga lengket saat diaplikasikan. Formulanya cepat menyerap dengan baik di kulit setelah dioleskan. Tidak terasa berminyak. Berhubung bentuknya oil, tidak perlu dioleskan tebal-tebal, cukup tipis saja. Bio-Oil juga tergolong awet dan ga cepat habis seperti krim.

Pada review ini saya ngga menyertakan foto before dan after kayak di iklan-iklan ya, nanti disangka editan lagi hahaha. Tapi yang pasti, kalau mau menggunakan produk ini, ga bisa instan hasilnya. Harus telaten, dan rajin. Sebagian luka hilang 90% sebagian lagi mungkin hasilnya tidak sama. 

Dari pada penasaran, yuk cobain, ladies!

Tuesday, January 17, 2017

Filosofi "Anger Management" dari Seorang Supir Uber

 "Aplikasi Uber ini kan unik, Bu. Kita bisa bertemu banyak orang. Kalau buat saya pribadi, jadi supir Uber itu saya gunakan sebagai sarana "anger management". Soal dapat uang, itu bonus."

pexels.com

Beberapa waktu lalu saya menggunakan jasa Uber sebagai transportasi pulang ke rumah. Karena sudah malam, saya biasanya mengajak supir mengobrol supaya merasa lebih aman. Lalu saya buka percakapan dengan obrolan standar: "Sudah berapa lama di Uber, Pak?", "Kenal betul daerah sini ya, Pak?", "Enak ga di Uber, Pak?", dan seterusnya.

Pertanyaan pertama merembet ke percakapan seru yang ngga saya duga sebelumnya. Sebelum bergabung dengan Uber, Bapak supir, sebut saja Pak Jo (bukan nama sebenarnya) rupanya berbisnis alat olah raga air. Orang awam seperti saya, kalo dengar olah raga air ya paling kepikirannya berenang, polo air, menyelam, snorkeling. Habis apa lagi? Pak Jo dengan lihai menjelaskan jenis-jenis olah raga air dari yang ringan sampai yang risiko bahayanya lebih tinggi dari balap F1. Yep! Beliau berbisnis peralatan olah raga kayak. Saya pernah sih dengan "kayak" tapi jujur ngga tau-tau amat juga. Wawasan saya jadi bertambah dengan penjelasan tentang olah raga kayak dari Pak Jo.

Idealis, adalah kesan pertama yang saya dapat dari Pak Jo. Tentang olah raga kayak, beliau punya mimpi bahwa Indonesia bisa unggul dalam olah raga ini, karena Indonesia memiliki banyak sungai yang bisa dijadikan sarana latihan dan kompetisi olah raga kayak. Sementara negara lain yang lebih unggul di cabang olahraga kayak, kebanyakan tidak memiliki sungai dan malah menciptakan sungai buatan demi menghidupkan olahraga ini.

Itu soal kayak. Di sepanjang jalan saya semakin tertarik untuk mengobrol dengan Pak Jo. Usianya sekitar 45-an. Saat saya bertanya join Uber enak atau tidak, beliau menjawab, "aplikasi Uber ini kan unik, Bu. Kita bisa bertemu banyak orang. Kalau buat saya pribadi, jadi supir Uber itu saya gunakan sebagai sarana "anger management". Soal dapat uang, itu bonus." Saya betul-betul tercenung dengan perkataan Pak Jo.

Lalu saya lanjut menanyakan maksud "anger management" yang dia sebut. Pak Jo bilang, jadi supir Uber mengharuskannya berinteraksi langsung dengan penumpang. Di sana ia melatih mengendalikan emosi, terdorong untuk banyak tersenyum, dan menyapa penumpang dengan tulus. Ia juga menyebutkan bahwa pekerjaan ini adalah pelayanan. Baginya, yang terpenting dirinya sudah bermanfaat untuk orang lain.

Spontan saya bilang: "mulia amat, Pak!" Di kala semakin banyak supir yang mengeluhkan penumpang, rute perjalanan, atau sistem Uber saat ini, Pak Jo malah memandangnya dari sisi yang berbeda. Dia sendiri bilang bahwa "Saya banyak kekurangan dalam hal emosi juga, Bu. Makanya sejak saya ikut Uber, saya malah lebih bisa meredam emosi."

Saya jadi terinspirasi sama Pak Jo. Sedikit banyak apa yang dia bilang, terekam juga di otak saya, dan berharap saya bisa melakukan "anger management" yang sama dalam keseharian saya. Ngurangin ngomel karena hal-hal kecil, terutama ke keluarga sendiri atau orang yang paling dekat yang kita sayang. Seneng banget kalo ketemu orang-orang yang inspiring kayak Pak Jo. Semoga semakin banyak orang di dunia ini yang juga melakukan "anger management" dengan lebih baik lagi.

Saturday, January 7, 2017

Movie Review: Great Wall; Great Pleasure

Film Great Wall, Januari 2017 (21cineplex)
Ini yang dinamakan cinta buta.

Berhubung ngefans berat seberat bola meriam dengan aktor yang ngga ganteng-ganteng amat tapi bagi saya sungguh memesona ini, si kang Mas Damon (begitu saya panggilnya, padahal nama aslinya Matt Damon), yang merupakan aktor utama di dalam film Great Wall, menjadi fokus utama saya untuk memutuskan nonton film ini.

Apalagi saat lihat di poster yang terpampang di bioskop, kawan mainnya (saya ga bilang lawan main, karena di film ini mereka akur) yaitu Andy Lau, saya membayangkan kombinasi barat dan timur dalam satu film itu biasanya apik.

Benar saja, saya sangat menikmati setiap adegan di film pertama yang saya tonton di tahun 2017 ini. Visualnya begitu megah, keperkasaan tembok Cina diekspos sedemikian rupa sehingga membuat kagum. Teknologi persenjataan modern di film era digital memang keren, namun persenjataan tradisional dan strategi perang dalam film berlatar era dinasti Cina tak kalah apik. Tak hanya itu, barisan prajurit tembok Cina dari level bawah hingga Jendralnya yang ditandai dengan warna kostum perang dan keahliannya juga menjadi detil tersendiri. Belum lagi formasi barisan yang dibentuk saat bersiap perang, sangat menarik.

Film kolosal bergenre action, fantasy dan adventure tak lupa mengedepankan aksi-aksi yang menghibur: kepiawaian William dan Tovar dalam memanah, kelihaian Lin menerjang monster dengan tombak bertali, serta keahlian strategi perang dari Wang.

Di luar itu semua, dari segi jalan cerita, bagi saya film ini terlalu sederhana, kurang kompleks. Namun biasanya ini yang terjadi pada film yang menggunakan tokoh monster sebagai lawan. Imajinasi tentang legenda tembok Cina rasanya kurang historis. Biarpun demikian, secara keseluruhan, saya menikmati sekali film ini karena dua hal: visual (CGI) yang epik, serta action yang seru. Eh tiga ding, satu lagi karena kang Mas Damon tentunya (maafkan kalo anda mual bacanya, hahaha).

Penasaran? Yuk ditonton filmnya, jangan lupa share di komen pendapat kamu tentang film ini :)

Personal score: 7/10
© Stories from An Affogato Lover
Maira Gall