Foto: http://faridwajdi03.blogspot.co.id |
Belum lama ini saya naik bus metro mini dari terminal Blok M menuju Arteri Pondok Indah. Normalnya, untuk jarak yang tidak terlalu jauh itu, dengan motor bisa sampai 15 menit, dengan mobil kira-kira 25 menit. Kalau dengan bus (sudah dengan macet) seharusnya maksimal 40 menit. Tapi waktu itu butuh 1 jam 5 menit buat saya sampai di tujuan! Mengapa? Karena bus tersebut mengetem selama lebih dari 15 menit di terminal, lalu jalan pelan-pelan (seharusnya bisa lebih cepat), kemudian berhenti sebentar-sebentar dan pasrah ketika sudah harus bertemu macet.
Setelah sekian kali mengalami kejadian tak efisien dengan bus kota, saya jadi berpikir, dengan kondisi bus kota saat ini, masih layakkah angkutan umum seperti metro mini dan kopaja sebagai sarana transportasi yang memadai bagi masyarakat?
1. Selalu Ngetem
Kejadian bus ngetem bukan baru terjadi di era transportasi berbasis aplikasi seperti sekarang, tapi sudah sejak dulu. Ironisnya hal tersebut tidak berubah juga sampai sekarang. Sebagai masyarakat awam saya mencoba memahami bahwa supir angkutan umum harus mengejar setoran yang menjadi sumber penghasilan harian mereka. Namun di satu sisi sebagai pengguna angkutan umum, saya memiliki hak untuk cepat sampai tujuan dengan angkutan yang saya tumpangi, kecuali ada alasan macet atau hal lain di luar kendali supir dan saya. Letih dengan urusan ngetem-mengetem, kini saya memutuskan, saya tidak dapat lagi mentolerir bus ngetem karena saya tidak mau membuang waktu.
2. Banyak Pengamen
Saya rasa banyak yang setuju bahwa pengamen bus kota itu mengganggu. Mengganggu di sini sudah tidak lagi soal suara sumbang atau ketidakpiawaian pengamen mengumandangkan lagu-lagu hits masa kini, namun lebih kepada perlakuan pengamen yang kasar, mengganggu penumpang dengan colekan atau celotehan iseng yang mengharapkan receh penumpang. Suatu kali saya sedang pusing dan tertidur, dengan entengnya pengamen nepuk-nepuk bangunin saya nyodorin sumbangan. Saya kaget sekali dan spontan protes dengan kelakukan mereka. Rasanya hal tersebut juga susah untuk saya tolerir lagi.
3. Ugal-ugalan
Bagi pengguna setia bus kota, pernah ngga mengalami naik bus ketika jalan sedang lowong, supir nyetirnya lambat, ketika sudah terjebak macet, supir gas rem gas rem mau cepat nyeruduk. Tiba-tiba bus masuk jalur busway, lalu keluar lagi dengan cara diagonal membelah kendaraan lain di depan dan di belakangnya. Seperti ini nih..
Foto: detikfoto |
Foto: Tribunnews |
Foto: merdeka.com |
Tidak jarang bus kota berangkat dan berhenti bukan dari jalur yang seharusnya. Terkadang bus menurunkan penumpang di pinggir jalan dengan alasan macet, lalu dioper ke bus lain. Pernah juga terjadi, kira-kira 100 meter sebelum tiba di tujuan, penumpang diturunkan dan diminta berjalan ke terminal sementara bus memutar untuk mengambil penumpang ke arah sebaliknya. Penumpang protes pun supir tidak peduli.
5. Polusi
Polusi memang tidak dirasakan langsung oleh penumpang, tapi terasa menyesakkan dada pejalan kaki yang dilewati oleh bis kota. Asap yang dikeluarkan hitamnya bukan main, bau dan menjadikan udara tidak layak buat dihirup. Kalo soal polusi sebenarnya bukan hanya salah bus kota, namun hampir bisa dipastikan asap dari bus kotalah yang paling hitam dan bau.
Dari kelima hal tersebut saya rasa wajar jika masyarakat beralih ke transportasi berbasis aplikasi, mengingat transportasi tersebut mengutamakan efisisiensi waktu, lebih cepat sampai, tidak buang-buang waktu dan mampu menjadi solusi macet. Lalu, mau dibawa ke mana metro mini dan kopaja?